Oleh: H. Ahmad Saransi
Dalam tahun 2024 ini sudah dua kali banjir yang melanda sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, kejadian ini tidak hanya merupakan bencana alam semata, tetapi juga hasil dari rusaknya lingkungan alam setempat. Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya menjaga ekosistem sebagai bagian integral dari mitigasi bencana alam.
Kerusakan lingkungan di sekitar wilayah Sulawesi Selatan menjadi pemicu utama banjir yang sering terjadi. Berdasarkan Floklor (Cerita Rakyat) Sulawesi Selatan, seperti La Maraja Bangkung yang suka membabat hutan, La Pattimpa tasi yang gemar mengeruk lautan, dan Buaja Bulu yang senang mengeksploitasi gunung dan daratan, kita dapat menemukan analogi dengan perilaku manusia modern yang sering kali tidak berkelanjutan dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Defortasi oleh La Maraja Bangkung menyerupai aktivitas penebangan liar yang mengurangi tutupan hutan. Praktik ini menghilangkan fungsi hutan dalam menyerap air hujan dan mengurangi risiko tanah longsor.
Penggalian Laut oleh La Pattimpa tasi dapat dimiripkan dengan aktivitas penambangan yang tidak terkendali di sepanjang pesisir. Hal ini mengganggu ekosistem laut/sungai dan dapat mengurangi keberadaan hutan bakau yang berfungsi sebagai penahan gelombang pasang.
Eksploitasi Daratan oleh Buaja Buluè mencerminkan eksploitasi lahan secara berlebihan untuk pertanian, pemukiman, atau industri. Praktik ini dapat mengubah aliran air alami dan memperburuk risiko banjir.
Banjir yang terjadi tidak hanya mengakibatkan kerugian materiil seperti kerusakan infrastruktur dan hilangnya tanaman pertanian, tetapi juga berdampak besar pada masyarakat setempat. Kehilangan nyawa, pengungsi, dan masalah kesehatan akibat air tercemar adalah sebagian dari dampak sosial yang sering kali terjadi.
Dari sisi ekonomi, banjir menghambat akses transportasi dan perdagangan lokal, mengakibatkan penurunan pendapatan bagi masyarakat yang sudah rentan secara ekonomi.
Untuk mengurangi risiko banjir di masa depan, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
Memperkuat perlindungan hutan dan kawasan konservasi alam, serta mempromosikan praktik pertanian yang berkelanjutan;
Meningkatkan pengelolaan air yang terpadu, termasuk pembangunan waduk dan sistem drainase yang lebih baik;
Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak negatif dari aktivitas yang merusak ekosistem;
Memperketat regulasi terkait penebangan liar, pertambangan ilegal, dan eksploitasi lahan;
Untuk itu Banjir di Sulawesi Selatan harus dihadapi dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga dan memperbaiki ekosistem. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat mengurangi risiko bencana alam dan melindungi masa depan generasi mendatang.
---------
Floklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan secara lisan serta turun temurun.*
0 Komentar